Guru, Sebuah Kata Penuh Cerita

Apakah yang terbersit dalam benak Anda saat mendengar kata Guru? Selain sebagai sebuah profesi yang aktivitasnya berkaitan dengan proses belajar dan mengajar, guru sering diidentikkan sebagai seseorang yang memiliki ilmu atau kemampuan lebih tinggi. Banyak cerita yang muncul dari kata tersebut, termasuk didalamnya adalah mencerdaskan anak didik guna meneruskan cita-cita pribadi dan bangsa.

Pro dan Kontra dari Wejangan Seorang Guru

Sumber: pexels.com

Baru-baru ini muncul pro dan kontra di media sosial terkait orang-orang yang dulunya diremehkan atau disepelekan oleh guru mereka masing-masing. Masing-masing memposting kesuksesannya pada tingkatan pendidikan yang saling berbeda namun berhasil dengan profesi atau wisuda sesuai cita-cita mereka. Uniknya lagi, prestasi yang mereka raih justru adalah sesuatu yang termasuk disepelekan oleh guru. Berbagai gejolak muncul, pro dan setuju pada mereka yang berhasil meraih cita-citanya dan sebagian lagi kontra karena menganggap mereka sombong atas apa yang mereka raih. Bahkan ada yang menyebut mereka kacang lupa akan kulitnya” karena justru setelah berada pada puncak prestasi, malah merendahkan guru mereka yang jelas-jelas menjadi salah satu pelaku yang ikut serta mengantar mereka ke posisi tersebut.

Lalu, berada pada posisi manakah Anda? Pro atau kontra? Apapun yang menjadi pilihan kita dalam menanggapi hal tersebut, satu hal yang perlu diingat adalah, apapun pernyataan yang disampaikan kepada diri kita, selalu akan menjadi pedang bermata dua namun kembali kepada reaksi kita masing-masing. Jika dianggap sebagai sebuah motivasi, akan menjadi pelontar untuk memaksa Anda meraih yang terbaik dengan memaksimalkan segala kemampuan yang dimiliki. Sebaliknya jika dianggap sebagai bullying, hanya akan menjatuhkan mental dan tidak menghasilkan apapun.

Profesi Guru, Antara Cita-Cita atau Panggilan Hati

Sumber: pexels.com

Di tengah-tengah pesatnya perkembangan teknologi dan cara belajar, masihkah proses belajar mengajar secara konvensional tetap dibutuhkan? Dimana guru dan peserta didik bertemu dalam satu ruangan dan melaksanakan proses belajar mengajar dengan bertatap muka dan sesekali interaksi fisik dalam bentuk pelukan sebagai syarat masuk ke dalam kelas atau hukuman berupa jeweran di telinga?

Atau suatu saat justru akan tergantikan dengan metode belajar digital karena toh pada akhirnya tujuannya adalah mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi dunia? Tidak ada lagi keharusan peserta didik untuk datang ke gedung sekolah dengan menggendong tas yang berat. Digantikan dengan posisi belajar di rumah atau dimanapun juga, didukung dengan gadget berupa laptop dengan kualitas internet yang kencang.

Mengingat akan ada kondisi tersebut, apakah profesi sebagai seorang guru akan tetap menjadi salah satu cita-cita? Atau berubah menjadi panggilan hati yang mungkin hanya dimiliki oleh beberapa pribadi yang masih merasa bahwa interaksi tetap dibutuhkan antara guru dan peserta didik? Pribadi yang masih menyadari bahwa interaksi tetap dibutuhkan untuk membuat peserta didik tumbuh menjadi sosok yang fleksibel dan terbiasa berinteraksi dengan sesamanya. Karena jika hanya berinteraksi dengan gadget, yang dapat dikategorikan sebagai komunikasi satu arah, justru akan membuat peserta didik dalam usia sekolah menjadi kecanduan.

Digital, Ancaman Masa Depan Guru atau Peserta Didik?

Sumber : pexels.com

Paperless atau meminimalkan penggunaan kertas dari berbagai aktivitas menjadi salah satu efek dalam era digitalisasi. Dimana bahan belajar bisa dibagikan atau share dalam bentuk soft file tanpa menggunakan kertas dalam jumlah banyak. Yang paling menarik adalah dapat dibagikan kapanpun dan dimanapun, dalam waktu yang singkat pula, selama didukung oleh fasilitas internet. Berbeda dengan buku pelajaran yang harus menempuh jarak tertentu yang jelas-jelas butuh waktu.

Itulah mengapa pemerintah mengharuskan setiap guru baik yang bekerja di instansi pemerintah ataupun swasta, memiliki kemampuan untuk menciptakan pendidikan yang didukung praktik yang berkualitas. Salah satunya adalah yang melek teknologi. Kenyataan dimana ilmu tidak hanya didapat dari sebuah buku, turut mendobrak prinsip bahwa untuk menjadi pintar harus bersekolah. Sehingga gerakan wajib belajar Sembilan tahun seperti tidak lagi memiliki nyawa.

Sumber : pexels.com

Lalu, apakah era digital merupakan ancaman untuk profesi guru? Atau justru mengancam masa depan peserta didik? Memang hanya waktu yang bisa menjawabnya, ada aspek positif-negatif dibaliknya. Dimulai dengan konsep digital yang menggantikan fungsi buku dengan gadget atau fungsi guru dengan aplikasi belajar yang bisa diakses dimanapun dan kapanpun. Bukan tidak mungkin akan tumbuh peserta didik yang tidak lagi peduli terhadap orang lain karena dunia hanya diisi dengan dirinya sendiri dan hal-hal yang diinginkannya. Bukan tidak mungkin akan tercipta sosok yang tidak lagi mau mendengar nasihat, mengingat fungsi guru yang sudah digantikan dengan aplikasi yang bisa dihentikan kapan saja sesuai keinginan penggunanya.

Guru Membantu Memetakan Kemampuan Peserta Didiknya

Sumber : pexels.com

Segala hal yang berkaitan dengan sensor motorik seperti bermain game yang membutuhkan kemampuan bertahan dan menyerang jelas lebih menarik ketimbang hal yang berkaitan dengan ingatan yang detil dalam materi pelajaran.  Membebaskan peserta didik untuk mempelajari apapun yang ingin dipelajari, tanpa sebuah modul belajar akan menghasilkan grafik yang tidak sehat. Suatu saat negara kita akan kekurangan orang-orang yang mau mempelajari tentang tubuh manusia dan kesehatannya, sementara segala penyakit itu sendiri terus berkembang. Bahkan kemungkinan terburuknya adalah meningkatnya tindakan kriminal karena kecilnya minat peserta didik untuk mengikuti akademi militer karena lebih menyenangkan berada di depan komputer untuk bermain.

Dengan adanya profesi guru, interaksi yang dihasilkan dari pertemuan setiap jam pelajaran, didokumentasikan dalam sebuah rapot peserta didik yang akan membantu orangtua mengenali bakat dan potensi dalam diri anaknya. Dengan kata lain guru membantu memetakan kemampuan peserta didiknya.

Wejangan dan nasihat yang disampaikan dalam setiap proses belajar mengajar akan turut serta membangun sugesti positif dalam diri peserta didik. Saat mereka dibutuhkan kelak, menjadi sumber daya baru untuk mengisi formasi lengkap segala kebutuhan bangsa dan negara. Baik dari segi pendidikan, keuangan dan ekonomi, pertahanan negara, kemajuan dan perkembangan teknologi. Meskipun harus menempuh pendidikan di luar negeri, wejangan yang pernah singgah di hati peserta didik akan memanggil mereka kembali untuk mengabdi kepada negaranya.

Bagaimanapun juga, guru tetap akan menjadi sosok yang menorehkan kenangan dalam hati setiap orang yang pernah mengecap pendidikan baik level formal maupun informal dengan segala sebutannya. Bahkan label pahlawan tanpa tanda jasa, layak disematkan bagi mereka yang berprofesi sebagai guru. Selamat Hari Guru Nasional, 25 November 2019, untuk para guru di Indonesia, terima kasih atas segala jasamu.